Indonesia membuka pintu bagi dunia internasional untuk mendukung restorasi dan perbaikan pengelolaan lahan gambut yang kaya karbon demi menyokong tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Luas lahan gambut di Indonesia mencapai 24,67 juta hektare (ha) dan menjadi tempat menyimpan karbon yang sangat besar.
Ekosistem gambut memiliki peran sangat vital dalam target penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FoLU).
Penanggung Jawab Operasional International Tropical Peatland Center (ITPC) Agus Justianto mengatakan, Indonesia menargetkan untuk mencapai FoLU Net Sink pada 2030 yang mana penyerapan karbon dari sektor FoLU lebih tinggi dibanding emisinya di tingkat minus 140 juta ton CO2e.
Dalam Dokumen Operasional Indonesia’s FoLU Net Sink 2030, pengurangan emisi karbon dari lahan gambut akan dilakukan melalui restorasi dan perbaikan tata kelola air dengan tujuan mengurangi emisi dari dekomposisi dan kebakaran.
Adapun lahan gambut yang menjadi target seluas 3,56 juta ha, terdiri atas 1,88 juta ha berupa aktivitas restorasi dan 1,67 juta ha dalam wujud perbaikan tata kelola air.
Karenanya, sebagai pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia, Indonesia terbuka untuk menerima dukungan multilateral demi mencapai target restorasi dan perbaikan pengelolaan hidrologis gambut.
“Dalam pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan, Indonesia mengundang dukungan multilateral lewat ITPC,” papar Agus.
Saat berbicara dalam Global Landscape Forum (GLF) Peatland 2024 di Bonn, Jerman, pada 6 Juni 2024, Agus menyatakan, terdapat empat strategi untuk memperkuat manajemen ekosistem gambut. Yakni, menjaga kelembapan gambut, memperbaiki tutupan lahan gambut, merevitalisasi pemanfaatan lahan gambut, dan memperkuat lembaga pengelola lahan gambut.
Karenanya, sebagai pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia, Indonesia terbuka untuk menerima dukungan multilateral demi mencapai target restorasi dan perbaikan pengelolaan hidrologis gambut.
“Dalam pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan, Indonesia mengundang dukungan multilateral lewat ITPC,” papar Agus.
Saat berbicara dalam Global Landscape Forum (GLF) Peatland 2024 di Bonn, Jerman, pada 6 Juni 2024, Agus menyatakan, terdapat empat strategi untuk memperkuat manajemen ekosistem gambut. Yakni, menjaga kelembapan gambut, memperbaiki tutupan lahan gambut, merevitalisasi pemanfaatan lahan gambut, dan memperkuat lembaga pengelola lahan gambut.
Keempat aksi strategi itu mesti diimplementasikan di tingkat Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) secara sistematis dan terintegrasi karena lahan gambut menyatu berkat fungsi hidrologisnya.
“Pembatasnya bukan batas kawasan atau administrasi pemerintahan,” papar Agus dalam keterangannya yang dikutip Jumat 7 Juni 2024.
Agus melanjutkan, dukungan multilateral untuk perbaikan manajemen ekosistem gambut bisa disalurkan melalui ITPC yang berkantor pusat di Bogor.
ITPC diinisiasi oleh Indonesia, Kongo, dan Republik Demokratik Kongo untuk mendukung pengelolaan lahan gambut tropis berkelanjutan.
Melalui ITPC, kerja sama multilateral diharapkan semakin meningkat untuk memperbaiki pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia dan juga di negara-negara pemilik gambut tropis lainnya.
“Indonesia sebagai negara pendiri dan anggota ITPC berharap dukungan dari berbagai lembaga internasional untuk implementasi dan pengembangan program-program dan aktivitas ITPC,” jelas Agus.